Semangat murtadin
Setelah hilir mudik selama 10 bulan di forum ini, membaca, belajar dan
melihat-lihat argumen saudara-saudara sekalian saya merasa
terpanggil untuk menceritakan bagaimana saya dahulu dan sekarang. Saya
sebenarnya bingung hendak mulai dari mana tetapi saya merasa ada
dorongan yang kuat dari dalam hati saya untuk mulai menceritakan
bagaimana kehidupan saya dulu dan sekarang.
Usman Abdullah itu
adalah trah keluarga, saya berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Kakek saya orang Makassar, nenek saya orang Bugis. Saya bersyukur ada di
angkatan ini, angkatan tahun 80an sehingga memungkinkan saya mengerti
internet. Bapak saya ****** usman menikah dengan mama saya (orang
Minahasa), awalnya mereka menikah di gereja tetapi setelah saya dan adik
saya (perempuan) lahir (saya dan adik saya hanya berjarak satu satu
tahun) bapak saya meminta mama saya untuk masuk islam bila tidak maka
mama saya akan diceraikan (saya mengetahui kemudian pada usia 16 tahun,
saya mengetahui dari adik bapak saya). Mama saya dengan terpaksa masuk
islam dan kemudian bercerai setelah adik saya (nomor 3) lahir. Mama saya
bercerai karena bapak saya kedapatan ber 2 di kamar teman (sahabat)
mama, kata bapak mereka sudah menikah secara siri. Kenyataan yang buruk
buat saya yang waktu itu berumur 5 tahun. Pengadilan memutuskan saya dan
2 orang adik saya di asuh oleh mama saya tetapi bapak membawa kami
pergi ke rumah nenek di kampung (Kab. Barru) sampai usia 8 tahun kami
tinggal bersama-sama nenek sementara bapak kawin lagi bahkan kawin
hingga punya 4 orang istri, mama juga menikah lagi dan tinggal bersama
suaminya.
Saya dan 2 orang adik saya di didik secara Islam,
kami diajar sholat 5 waktu, kalau tidak sholat atau mengaji maka kami
harus siap2 menghadapi rotan dari nenek. Kami dilarang untuk bergaul
dengan keluarga dari mama karena mereka adalah orang kafir, mereka pasti
masuk neraka (kata nenek), nenek yang mengasuh kami waktu itu, nenek
adalah istri pertama kakek (kakek mempunyai 3 orang istri).
Saya ingat bila adik saya (perempuan) tidak mau mengaji maka adik saya
pasti akan di pukul rotan, di pukul hingga badannya ada bekas pukul dan
berwarna biru. Saya sedih lihat adik saya, sedih juga karena saya bapak
tidak pernah menengok kami. Sedih juga karena wajah saya dan adik saya
mirip orang cina dan teman2 saya mengejek saya dengan mengatakan saya
keturunan cina. Usia 9 tahun kami bertemu dengan mama dan keluarganya
(saat itu kami ada di Makassar, berlebaran), kami menangis
sejadi-jadinya... Adik saya menceritakan keadaan kami dan pengen tinggal
sejenak dengan mama, mama minta supaya kami di ijinkan tinggal 2 hari
bersama mama. Setelah perdebatan panjang kami diperbolehkan tinggal 2
hari dengan mama. Rasanya kami merdeka, lepas dan tidak mau kembali ke
kampung. 2 hari terasa cepat berlalu, nenek datang menjemput kami namun
beberapa saat sebelum nenek datang menjemput oma (mama-nya mama) datang
dan mengajak nginap di rumahnya, kami senang sekali dan langsung
mengiyakan. Jadi, libur lebaran itu kami tinggal di rumah mama dan oma
kami.
Pengalaman tinggal di rumah mama dan oma kami sangat
menyenangkan, mama mengajarkan (khususnya ke adik2 saya) tentang
mengasihi sesama, kata mama apa dan bagaimana pun kami mama tidak akan
melupakan kami dan terus berdoa bagi kami. Mama bilang mau bawa kami
tetapi bapak selalu menghalangi dan mengancam akan melaporkan ke polisi.
Di rumah mama kami juga diberi kebebasan untuk sholat (begitupun di
rumah oma), kami tidak pernah dilarang untuk sholat. Ada yang berbeda
antara di rumah nenek dan di rumah oma, di rumah nenek kalo mau makan
harus bilang dulu dan biasanya harus diambilkan (ditakar) oleh nenek,
dirumah mama atau oma kami boleh makan sesuka kami yang penting kata oma
makanannya di habiskan karena ada banyak orang yang membutuhkan makan
jadi gak baik kalau makanan di buang2. Hal yang berbeda lainnya adalah
pada malam hari di rumah oma ataupun mama pasti semua kumpul di meja
makan, makan bersama namun sebelum mereka makan mereka berdoa (waktu di
rumah mama yang pimpin doa adalah bapak tiri kami) bersama dan yang
memimpin doa adalah opa. Karena saya tidak mengerti jadi saya hanya diam
aja sementara opa memimpin dalam doa, didalam doa yang diucapkan opa
itu doa menggunakan bahasa Indonesia yang saya juga bisa dengar beda
dengan doa saya selama ini. Di dalam doa itu saya dengar nama saya juga
di sebut, bukan hanya nama saya tetapi nama adik2 saya dan bahkan nama
bapak saya juga di sebut. Saya merasa kagum dan takjub karena selama ini
nenek mengajari kami untuk tidak perlu mendoakan mama dan keluarga
besarnya karena mereka kafir dan pasti masuk neraka.
Kami
makan selayaknya keluarga, saya dan adik2 saya diberi tempat duduk
persis di samping opa (masih ada 2 orang adik mama yang tinggal dengan
oma dan opa waktu itu karena mereka blm menikah dan masih kuliah), hal
berbeda bila kami makan malam di rumah nenek, biasanya setelah makanan
diberi kami disuruh duduk di lantai atau disuruh makan di dapur.
Pengalaman tinggal bersama mama dan oma membekas di hati kami, saat mama
melepas kami kembali ke nenek mama bilang akan sering2 berkunjung ke
kampung di Barru. Saat mama pergi kami menangis, kami mengangis supaya
kami tidak ditinggal.
Setelah mama pergi karena adik saya yg
nomor 3 (usia 6 tahun) masih menangis nenek mengambil rotan dan memukul
adik saya, adik saya yg perempuan juga menangis dan juga dipukuli supaya
mereka berhenti menangis, saya sampai harus melindungi adik2 saya dari
pukulan rotan itu. Kebetulan saat itu ada ustad dirumah (sedang
berkunjung karena masih suasana lebaran) dan ustad itu mengatakan :
"mungkin anak2 ini di baca2i supaya ingat terus ke mama-nya" jadi ustad
itu mulai merapal bacaan dan dengan bacaaannya kami ditenangkan. Saya
meminta adik saya diam, waktu itu kami tenang bukan karena bacaan tetapi
karena takut dengan rotannya nenek. Di kamar (kebetulan kamar yang kami
tempati berada di lantai 2) saya menenangkan adik2 saya. Adik saya yang
nomor 2 (usianya 8 tahun waktu itu) terus merengek minta ketemu mama
lagi. Entah kenapa kok dari dalam hati saya ada keinginan untuk kabur
dari rumah itu.
Saya kemudian menghapal kembali jalan untuk ke
rumah mama tetapi sulit yang saya ingat malah jalan ke rumah oma (rumah
nenek di jl. cendrawasih dkt stadion mattoangin sementara rumah oma di
perumnas antang). Lalu saya mulai mengendap-endap ke dapur dan mencari
tas plastik untuk memasukkan baju2 kami, saya mewanti-wanti adik2 saya
untuk tidak tidur supaya kit bisa pergi tengah malam, kami berpura-pura
tidur saat om A**** (yg punya rumah) menengok kami dan memastikan kami
sudah tidur dan mematikan lampu kamar. Tepat pukul 11.30 malam saya
lihat sekeliling dan gelap, saya bangunkan adik2 saya dan
mengendap-endap keluar kamar. Kami menggunakan pohon mangga yang ada di
samping balkon kamar turun ke halaman samping dan manjat pagar dan
kemudian kami pergi tanpa sepeser pun uang tadinya kami di berikan uang
oleh om edy (adiknya mama), oma dan juga mama tetapi uang itu di ambil
oleh nenek sesaat setelah mama pergi.
Saya menuntun adik2 saya
dan juga membawa tas kresek isi pakaian kami. Kami menumpang mobil
angkutan kota yg kebetulan lewat saya ingat saat itu kami berhenti di
pasar sentral. Sampai di pasar sentral tengah malam saya hanya menuntun
adik2 saya menuju ke lapangan karebosi saya ingat sekali jalannya karena
itulah rute yang tadi kami lewati waktu mama mengantarkan kami kembali
kerumah om A****, sebenarnya kami saya hanya mau cari tempat buat tidur
dulu kasian adik2 saya yang mengantuk namun karena semangat mau kabur
jadi mereka tetap terjaga. Belum sampai kami di lapangan karebosi
tiba-tiba ada mobil berhenti (pick up), kami kaget karena kami kira itu
mobil om A****, kami takut tertangkap dan di bawa pulang kembali tetapi
ternyata 'orang itu' memakai baju panjang dan berambut panjang diurai
keluar dan bertanya kami mau kemana tengah malam begini? Saya katakan
mau ke antang lalu dia bilang nanti saya antar kalian, saya langsung mau
karena waktu itu kami butuh tumpangan dan ga tau kenapa kok saya
percaya saja pada orang itu. Di dalam mobil (kami duduk didepan samping
'orang itu') kami tidak banyak bicara, saya hanya bilang mau ke perumnas
antang om, blok 7 (saya ingat karena dirumah oma ada tulisan nomor dan
blok-nya dan saya hapal).
Saya berusaha menahan kantuk supaya
tidak tertidur tetapi saya ikut tertidur bersama adik2 saya. Ketika saya
terbangun saya sudah ada persis didepan rumah oma. Om yang mengantar
kami membangunkan saya dan karena kaget saya langsung bangunkan adik2
saya dan saya berterima kasih pada 'om' yang mengantar saya. 'Om' itu
pergi begitu saja meninggalkan kami, karena senang sekali kami tiba di
rumah oma saya sudah tidak memperhatikan om yang tadi mengantarkan kami.
Om Edy yang bukakan kami pintu dan terkejut melihat kami, oma dan opa
juga kaget melihat kami. Saya tahu dalam pikiran mereka mungkin akan
mengembalikan kami ke nenek, tetapi tidak lama kemudian oma bilang
'sekarang yg penting bagaimana mereka tidur dulu, soal besok biar nanti
kita hadapi' kami akhirnya kembali bermalam di rumah oma. Itulah
pengalaman saya pergi dari rumah nenek ke rumah oma.
Singkat
cerita, nenek menyalahkan mama dengan kaburnya kami dari rumah om A****.
Nenek mengatakan bahwa mama meng-guna2i kami (padahal tidak), bapak
sudah tidak perduli dengan kami jadi dia fine2 saja kami pergi dari
rumah om A****. Nenek tetap ngotot untuk mengambil kami kembali, saya
tahu kenapa nenek ngotot karena di rumah nenek (di Barru) kamilah yang
mengurus rumah tangga mulai dari cuci pakaian, ngepel dan semuanya. Kami
memang kembali ke rumah om A**** dan sudah bisa di tebak kami di pukuli
habis2an dan dipulangkan ke Barru tetapi tetap saja kami bisa kabur dan
kembali ke rumah oma. Saat itu mama juga ikut suaminya pindah ke
Sumbawa jadi kami hanya punya tempat kabur ke rumah oma. Selalu ada
kekuatan yg membuat kami kabur dan selalu ada orang yang menolong kami
dalam perjalanan kabur itu. Karena seringnya kami kabur, nenek sudah
bosan mengejar kami dan akhirnya membiarkan kami. Opa mengurus surat2
sekolah kami dan memindahkan kami ke Makassar. Di Makassar kami di asuh
oleh oma dan opa (mereka sudah almarhum). Selama di rumah oma kami
mendapat perlakuan yang berbeda dengan sewaktu kami di rumah nenek dan
itu berlangsung setiap hari seperti apa yang mereka tunjukkan sewaktu
kami awal2 menginap d rmh oma dan opa. Saat di asuh oleh oma dan opa
saya tidak di paksa untuk beralih kepercayaan. Saat saya lulus SD, SMP
dan SMA pun saya tetap muslim namun yang saya ingat adalah 'om' yg
menolong kami pada saat kabur pertama kali.. Dia datang lagi pada saat
saya kecelakaan tahun Agustus 1998 (semester awal saya kuliah) di desa
Tajur (perbatasan Puncak-Cianjur), saat itu saya bersama rombongan naik
motor dan motor saya di salib oleh bus dan membuat saya tergelincir
jatuh, saat jatuh itulah kepala saya menghantam batu besar dipinggir
jalan dan membuat kepala saya pecah dan harus di jahit 14 jahitan. Kata
dokter yg menangani saya saya koma 3 hari tetapi 3 hari itu adalah
perjalanan spiritual saya tetapi saya mengalami hal yang lain, saya
bertemu dengan 'om' yg dulu menolong saya...
Rekan-rekan, saya
melanjutkan cerita saya berdasarkan pengalaman saya pribadi. Saya tidak
mengarang atau mereka-reka atau sekedar mencoba untuk
ber-taqqiya
karena saya bukan penganut islam lagi (walaupun dulu saya islam). Saya
berterima kasih dengan komentar dan tanggapan teman-teman sekalian saya
tidak menyangka akan mendapat sambutan dari rekan sekalian. Tujuan saya
menulis di forum ini adalah untuk mencurahkan segala unek2 saya, seraya
berharap mungkin ada teman2 pembaca yang ragu dan bimbang untuk
melepaskan diri dari islam dan membaca tulisan saya mereka menjadi
memiliki kekuatan untuk keluar dari islam. Saya akan melanjutkan tulisan
saya dan selanjutnya saya akan menjawab satu persatu pertanyaan teman2.
Oh iya, maafkan saya agak terlambat melanjutkan karena tanggal 9 nov yg
lalu saya tugas ke daerah pedalaman (****) dalam rangka tugas kantor.
Saya lulus SD dengan peringkat terbaik, kemudian melanjutkan SMP di SMP
Negeri di Makassar. Saya kelas 2 SMP saya harus pindah ke rumah om
M**** dan tante P**** karena oma dan opa harus pindah ke Bitung Sulawesi
Utara (melanjutkan hari tua disana), kedua adik saya di bawa serta
kesana. Om M**** adalah keluarga jauh (sepupu 2x mama). Saya tinggal di
Makassar karena waktu itu ada perlombaan cerdas cermat dan tidak bisa
ditinggalkan. Rencananya nanti setelah saya mengikuti lomba saya akan
ikut dipindahkan ke Bitung tetapi kenyataannya karena prestasi yg baik
saya tidak jadi pindah bahkan mengikuti perlombaan2 lainnya (semacam
olimpiade matematika saat ini). Kelas 3 SMP saya tetap di asuh oleh om
M**** dan tante P****, mereka baik kepada saya, mereka tidak punya anak
dan memperlakukan saya seperti anak sendiri, saya tidak pernah
disuruh-suruh seperti saat saya masih di rumah nenek atau di rumah om
A***, saya malah diberikan sepeda BMX dan itulah yang saya gunakan untuk
bersekolah. Saya juga bekerja paruh waktu dengan meloper koran, saya
saat itu masih sholat (kadang2) kalau di ajak teman disekolah atau kalau
ada safari ramadhan di sekolah atau juga kalau ada tugas dari guru
agama (soalnya kalau ga sholat pasti di pukuli oleh guru agama atau
nilai agamanya di kasih merah). Om M**** ga pernah protes kalau tiba2
saya diajak teman2 pergi maghrib berjamaah kebetulan dekat rumah om
M**** ada masjid. Sebenarnya saya tidak mau tetapi ga enak dengan teman2
yg mengajak, saya ingat teman2 saya waktu itu selalu mengatakan kalau
kita ga sholat maka kita akan terkena azab dan siksa dari auloh baik di
dunia terlebih di akherat. Semua pasti takut bahkan ada teman sekelas
saya chinese sampai jadi islam karena takut dengan ancaman itu.
Oh iya, konflik sara pada waktu itu di makassar gampang sekali terjadi.
Kalau ada perang antar geng yg jadi sasaran pasti toko2 kelontong milik
teman2 saya yang chinese padahal mereka sudah menutup warungnya karena
takut jadi sasaran pelemparan batu tetapi tetap aja kena lemparan batu
dan tidak ada sanksi pidana bagi mereka yang melakukan pelemparan,
walalupun ada polisi tetapi polisi tidak bisa ngapa2in, nanti kalau
mereka sudah puas saling melempar atau jika sudah ada yg terluka parah
atau mati barulah mereka berhenti berantem. Sambil mereka berantem
mereka selalu teriak auloh huakbar, kadang saya bertanya dalam hati
bukankah mereka datang dari suku yang sama dan agama yang sama? mereka
hanya terpisah gang tetapi saling perang batu dan busur namun yang jadi
sasaran adalah orang2 minoritas, selalu begitu, ada2 aja masalah yang
menjadi pemicu keributan atau perang antar geng misalnya hanya karena
kalah dalam pertandingan sepakbola atau karena senggol2an dalam hiburan
pas 17 agustusan dan yang paling sering adalah karena tersinggung karena
kata-kata yang tidak pantas (ditegur tetapi tidak mau diterima
tegurannya malah menjadi dendam).
Selepas SMP saya melanjutkan
ke SMA di Bitung, karena om M**** harus mutasi ke Soroako, Opa menjemput
saya ke Makassar dan saya pindah ke Bitung. Saya SMA di Bitung satu
sekolah dengan anak ketua MA sekarang (sampai saat ini saya masih
berhubungan baik dengannya karena there is story behind me and her :D/
sayang papa-nya galak, hahahahahaha.....). Saat SMA inilah saya banyak
berpikir tentang ke-islaman saya. Selama saya SMA saya tidak pernah
sholat sama sekali. Di rumah tidak di wajibkan karena saya ikut tinggal
di rumah oma. Oma dan opa juga tidak pernah melarang saya sholat namun
juga tidak pernah menyuruh saya sholat. Ke dua adik saya malah sudah
aktif di gereja, mereka yang selalu katakan ayo kak ikut kami ke gereja
(oma selalu marah kalau mereka mengajak ke gereja karena menurut oma
kepercayaan tidak perlu di paksa2 nanti akan muncul dengan sendirinya).
Saya selalu mengeraskan hati, saya sadar sepenuhnya lingkungan saya
berubah. Di sekolah setiap pelajaran agama saya mengikuti (agama islam)
tetapi ketika teman2 muslim sholat saya tidak ikut, teman saya sesama
muslim mengingatkan saya akan bahaya azab dan neraka (persis sama
seperti teman saya F**** saat SMP mengingatkan saya) tetapi saya diam
saja. Pada hari Jumat disekolah kami itu ada persekutuan doa setiap
jumat saya dengar mereka beribadah mereka selalu berbicara tentang
kasih, mengampuni, menolong dan menghargai sesama. Hal yang berbeda dulu
tiap kali dengar khotbah jumat yang di katakan selalu tentang azab,
siksaan api neraka, mengutuki, hindari berteman dengan yg tidak seiman
dan banyak lagi... Oh iya, saya teringat satu hal bahwa saat itu di
sekolah saya banyak teman kelas saya yang perempuan hamil oleh teman2
sekolah (kakak kelas) yang justru beragama islam, kalau mau di nikahi
teman2 kelas saya itu harus mau jadi islam. Saya juga berulang kali di
injili oleh teman2 yg Nasrani bahkan saya sempat mengetahui mereka
membagi tiap2 teman yg muslim dengan golongan liberal dan ekstrimis.
Mereka mengkategorikan saya sebagai islam liberal (saat itu) karena saya
terbuka dengan mereka, namun saya tetap pada pendirian saya untuk tetap
muslim (lebih tepatnya congkak) mungkin karena sejak dulu di tekankan
dan di tanamkan oleh nenek dan keluarga dari bapak sekali muslim tetap
muslim atau proud to be moslem (something like that lah...). Guru2 saya
juga tidak pernah menekan saya untuk berpaling kepercayaan, walau mereka
non muslim mereka tetap menghargai saya. Saya ingat adalah pertemananku
dengan anak ketua ma sekarang (waktu itu beliau adalah ketua pn bitung)
kami sama2 muslim, awalnya kami berteman baik tetapi setelah mengetahui
keluargaku non maka kami harus menjaga jarak (saat itu) dalam berteman.
Sekarang setelah kami bertemu lagi (setelah sekian lama berpisah) kami
bisa mentertawakan masa lalu... hahahaha....
Saya melanjutkan
kuliah di Jakarta, saat itu saya mengajukan pilihan pertama UMPTN di
Jakarta, kedua di Bandung dan ketiga Manado, gagal lolos di Jakarta dan
Bandung saya lolos UMPTN di Unsrat Manado tetapi karena posisi saya
sudah di Jakarta jadi saya (setelah diskusi dengan oma dan keluarga)
saya meneruskan kuliah di PTS di Depok. Di Jakarta inilah saya bertemu
(kembali) dengan bapak saya. Dia tinggal di Tanjung Priok dengan istri
ke empatnya. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana dia
susah payah menghidupi keluarganya. Di satu sisi saya kasihan dengan dia
tetapi mengingat bagaimana dia menelantarkan kami, mengingat bagaiamana
dia tidak perduli dengan kami, mengingat bagaimana kami harus berjuang
menenteng-nenteng tas di tengah malam... Saat itu saya benci sekali
dengan dia, kenapa saya bisa bertemu dengan dia? Sepupu mama saya yang
rumahnya saya tinggali (tante J****) pernah menggunakan jasa bapak
sebagai driver lepas (secara tidak sengaja bertemu) dan bila ada acara2
tertentu tante J**** selalu menggunakan jasa bapak. Suami tante J****
adalah seorang pendeta (tadinya adalah seorang preman yang bertobat
menjadi pendeta, dia orang Jawa), dialah yang meminta saya untuk bertemu
dengan bapak, saya sebenarnya sangat tidak ingin bertemu. Kata om U****
waktu itu adalah tidak baik hidup dalam amarah dan mendendam, karena
kalau kita mendendam kita ga akan memiliki kerajaan Sorga, saya tidak
mengerti apa yang dia maksudkan saat itu, yg ku pikirkan om U**** hanya
mau saya ketemu bapak, sudah lama saya tidak bertemu bapak dan saya
(setiap bertemu keluarga) sudah tidak menganggap dia bapak lagi, itulah
sebabnya mungkin om U**** memaksa saya untuk bertemu bapak supaya ada
rekonsiliasi diantara kami. Tetapi, pada saat saya bertemu bapak, saya
malah senang karena merasa dendam saya terbalaskan. Melihat hidupnya
yang berantakan dan susah payah rasanya senang sekali. Bukankah dia
menelantarkan kami? Membiarkan kami tinggal sama nenek di Barru
sementara dia senang2 dengan perempuan lain? Dia mengejar2 kami saat
kami bersama-sama mama tapi dia mengembalikan kami ke nenek dan dia
pergi begitu saja, rasanya pengen memukul wajahnya tetapi melihatnya
hidup dalam kesusahan saja sudah cukup. Pada saat pertama kali bertemu
dirumah kontrakannya di tanjung Priok dia mau peluk saya dia bilang :
"A**** anakku..." cuih... ga harap aku di aku anak oleh dia (saat itu
aku berpikir demikian), saya menghindar saat dia mau peluk. Saat saya
menghindar om U**** menatapku dan karena aku gak enak hati maka aku
membiarkan dipeluk oleh bapak saat dia mencoba memelukku untuk yg kedua
kalinya. I hate him so much... Dia tanya apakah aku masih sholat aku
bilang tidak lagi, sdh 3 tahun ga sholat, dia tanya apakah aku masih
islam aku hanya mengangguk (saat dia tanya begitu om U**** dan tante
J**** sudah di mobil, saya di tanyain bapak saat berjalan menuju ke
mobil) saya ingat pesan bapak waktu itu : pokoknya kamu kuliah aja,
hati2 dengan mereka jangan mau kalo di ajak ke gereja, gak apa2 walau ga
sholat tapi tetap islam... Dalam hati ku bilang kalau aku mau jadi
Kristen sudah dari 3 tahun lalu ****, aku tetap islam bukan karena kamu
karena aku pikir waktu itu di Indonesia mayoritas islam dan islam itu
agama yg dari auloh, karena islam itu rahmatan lil alaamin membawa
kebaikan bagi semua orang (waktu itu aku berpikir begitu :vom:)
Pertobatanku terjadi saat aku berlibur bersama teman-teman kompleks
rumah om dan tante di puncak pass Agustus 1998. Saat itu kami liburan di
puncak dan setelah dari puncak kami akan melanjutkan ke Bandung,
kebetulan saat itu saya naik motor, sebuah bus menyalip motor yang saya
tumpangi dan kemudian tergelincir saya jatuh dan menghantam batu besar
dan saya tidak ingat apa2 lagi... Saat itu dunia saya gelap, hitam, otak
saya masih jalan tapi saya pun tidak bisa melihat diri saya sendiri.
Saya tidak merasakan sakit, saya pikir saya buta... Ya saya pikir saya
buta kenapa begitu? saya ingat kejadian terakhir saat terjatuh dan buuk
dan kemudian gelap... (saya tahu kepala saya menghantam batu karena
diceritakan oleh teman, masih kata teman saya telapak tangan saya
terkena pecahan beling/kaca sekitar 2 senti dari urat nadi saya, sampai
sekarang masih ada bekas lukanya) Saya berpikir saya sedang berjalan
dalam kegelapan, saya juga berpikir saya sudah mati karena saya
bersuara, teriak tapi tidak ada yang menyahut saya tidak merasakan
apapun juga... gelap, hitam bahkan langkah kaki saya tidak rasakan.
Desperate..., pasti saya takut mati, saya takut sendirian, saya teriak2
tapi tidak mendengar suaraku sendiri, kenapa saya tahu saya teriak?
karena otakku berpikir dan hal pertama yang aku ingin ketahui adalah
kenapa duniaku hitam? dimana orang2 lainnya? kenapa saya buta? kenapa
saya tidak mendengar suara yang ku keluarkan? saat suaraku tidak ada yg
sahuti saya sadar saya sendirian, saya menangis meraung-raung minta
tolong... Lalu saya berkata : Tuhan Tolonglah aku... Lalu muncullah
terang... awalnya setitik lalu titik itu mendatangi aku dan makin lama
makin terang dan silau lalu muncullah Dia, dia sama persis seperti
siluet yg muncul saat polisi korban WTC seperti yg ada di film WTC. aku
ingat Dia... Dia yg menolong kami malam itu... kenapa saya ingat? saya
ingat wajahNya... Wajah yang sama seperti di lukisan yang ada mahkota
durinya tapi yang mendatangi aku lebih natural dari apa yang di
gambarkan orang... WajahNya innocent, lemah lembut bukan tipikal
pemarah. Awalnya saya tidak bisa melihat terang itu tetapi setelah
terang memenuhi tempatku (aku sendiri ga tau tempat apa itu) aku bisa
lihat siluetNya dan wajahNya (seperti lihat matahari yg terang ada warna
oranye di tengahnya), aku ingat Dia Isa Al Masih yg di sembah-sembah
teman2ku dulu pas SMA, aku lihat dan mendengar dia berkata : "Akulah
jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorangpun datang kepada Bapa
kalau tidak melalui Aku..." aku ketakutan dengar itu seperti sedang
duduk di depan hakim lalu Dia bilang : "jangan takut... kembalilah dan
ikutlah Aku..." seketika itu aku terjaga dan merasakan tubuhku ada di
rumah sakit didalam ruang ICU, dingin, kepalaku di perban dan telapak
tanganku juga di perban... Aku ga merasakan sakit... Dokter juga heran,
bekas lukanya masih ada, aku ditanyain banyak hal tapi aku diam... Aku
minta pulang saat itu dan dalam perjalanan pulang aku ingat2 kejadian
tadi... Di rumah aku berdiam diri, aku bertanya-tanya siapa om itu? Lalu
aku belajar, cari tahu... Aku tanya om U****... ternyata om U****
dulunya adalah seorang muslim, dialah yang banyak memberi tahu bahwa Isa
Rohullah wal Kalimatullah (waktu itu saya diberitahu oleh om U****)...
Aku tidak serta merta menerima Isa Al Masih, tapi aku belajar. Dulu aku
menerima secara bulat islam adalah rahmatan lil alaamin, tetapi sekarang
aku punya pembanding... Oktober 1998 tepatnya 31 Oktober 1998 saya
menyerahkan hidup saya pada Kristus Yesus/Isa Al Masih... Saya di baptis
dan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat karena
Dia yg selamatkan aku dari kematian...
Inilah kisah saya
teman2... Setelah saya jadi pengikut Kristus bukan berarti saya terbebas
dari masalah masih banyak masalah yg datang diantaranya bagaimana saya
mengampuni bapak kandung saya... Luar biasa Tuhan mengubahkan hati saya,
mengampuni bapak, nenek dan keluarga besar saya... Ketika bapak saya
tahu saya berubah kepercayaan dia marah besar dan bahkan tidak mau
melihat saya tetapi saya tetap mengasihinya dan membantu dia
menyekolahkan adik (lain ibu) saya. Waktu itu Tuhan memberkati saya
(saya bekerja sebagai sales agen asuransi pada semester 3 sampai
selesai), saya punya pekerjaan sendiri dan saya ikut membantu
menyekolahkan adik2 saya. Akhirnya bapak mulai menerima saya, saya
menceritakan kisah saya kepadanya dan dia mengatakan bahwa saya
memperoleh hidayah... Saya tidak bermaksud mengajak dia pada kepercayaan
saya saat saya menceritakan pengalaman saya saya hanya curhat sebagai
anak pada bapaknya. Saya pikir2 dulu saya sangat membencinya tetapi
kenapa saya sangat mengasihinya? Saya kasihan lihat adik2 (beda ibu)
saya dan saya merasa beruntung terhadap hidup saya, karena Tuhan baik
pada saya... Adik2 kandung saya saat ini yg nomor 2 (perempuan) sarjana
***** dan bekerja di *****, menikah dengan orang Surabaya, adik saya yg
cowok sarjana ***** dan bekerja *****, saya sendiri sarjana ***** dan
bekerja di ****** di republik ini...
Pernikahan saya dengan
istri saya juga mempunyai cerita dan tantangan yang luar biasa. Istri
saya orang Betawi-Sunda sarjana **** dari universitas di Jakarta,
seorang murtadin juga. Beralih kepercayaan tahun 2007, 6 bulan sebelum
kami menikah, dia di injili teman kantornya (orang Batak), saya gak
pernah mengajak atau menginjili dia tetapi keluarganya menuduh saya yg
injili dan paksa dia murtad. Saya di pukuli kakaknya waktu itu tetapi
saya tidak membalas tetapi mendoakan mereka... Sekarang, rumah tangga
kakak2 istri saya yang memukuli saya dulu hancur berantakan (kakak2nya
ga punya anak sudah menikah 8 dan 7 tahun lamanya), mereka bercerai,
sementara saya Tuhan mengaruniai kami seorang putra yang pintar dan
ganteng sekarang berumur 4 tahun (kami menikah Sept 07) kami menamainya
****. Saya ingat, salah satu hal yang membuat saya memutuskan menikahi
istri saya adalah karena saya melihatnya dalam mimpi, kami menikah.
Perjuangan istri saya juga luar biasa, dia anak perempuan satu2nya dari 5
bersaudara. Saat memutuskan murtad dia harus di asingkan hingga ke
pedalaman pandeglang kemudian dia harus di jambak2 dan kami tidak
berkomunikasi selama 4 bulan. Di dunia yang semodern tahun 2007 istriku
tidak boleh pegang hp, tidak boleh bersentuhan dengan internet,
kemana-mana harus di temani (sekembalinya dari pengasingan dari
Pandeglang) tetapi Tuhan itu baik, entah mengapa saya bisa bertemu istri
saya di tempat yang tidak pernah kami datangi. Ceritanya panjang...
Lain waktu saya akan cerita lagi... Apa yang saya mau tekankan disini
adalah Tuhan itu adalah Tuhan yg mengetahui bahasa universal... Dia
mengetahui kita manusia yang lemah dan rapuh terhadap dosa itulah
sebabnya Dia datang dan menjadi pendamai atas dosa-dosa kita, Dia tidak
menuntut kita atas pahala karena pahala dan perbuatan baik tidak
bernilai dihadapan Tuhan karena Tuhanlah yang empunya kebaikan. Kalau
kita merasa berpahala dan lebih baik dari orang lain maka bukankah kita
telah berdosa terhadap Tuhan? karena telah membandingkan diri kita
dengan orang lain. Jika kita merasa kita bisa ke sorga karena pahala dan
kebaikan itu sama saja dengan kita menyuap Tuhan dengan nilai... Itu
sama saja dengan kita membayar tiket ke sorga dengan kebaikan dan pahala
kita... Semoga menjadi berkat buat kita semua... God Bless we all...
Keterangan dari Abdullah:
Untuk alasan keamanan, nama2 asli disamarkan semua. Tahu aja sendiri
gimana sikap pengikut 'agama damai' pada murtadin. M. saya tidak ingin
nanti keluarga saya menjadi sasaran mereka karena kesaksian ini, jangan
tinggalkan Tuhan Yesus. DIA benar-benar ada saudara ku ! saya bersaksi
karena Tuhan Yesus !
Tertanda,
Tio Rendika Yeremia Sitanggang